耐 nài= residen/penduduk asli; atau resistant = mampu mentolelir
人口 rén kǒu population = populasi
- Jawa mampu mentolerir populasi, Terjemah bebasnya dapat berarti bahwa penduduk asli Jawa (khususnya di negara PANJER) bisa menerima/toleran terhadap pendatang yang notabene adalah kaum Tionghoa. Dimungkinkan pada masa itu di Negara PANJER telah terjadi hubungan dagang antara Jawa dan Tionghoa. Perlu diingat bahwa ibukota Panjer berada di dekat sungai Lukula, yang berhilir ke samudra Hindia sehingga kemungkinan perdagangan kaum Tionghoa tersebut menggunakan kapal kecil menuju Kotaraja Negara Panjer melewati sungai Lukula sementara kapal induk mereka tetap berada di samudra Hindia. Dalam catatan lain juga disebutkan adanya Kerajaan Panjer dengan Rajanya “Kuwu Panjer” yang dengan kebesaran hati menerima masuknya Islam yang disebarkan oleh Kerajaan Demak dan Wali Sanga bahkan kemudian menginstruksikan agar seluruh warga Negara Panjer memeluk Islam. Kejadian ini pun berakibat turunnya status kerajaan menjadi kadipaten dibawah Demak serta jabatan Raja/Kuwu menjadi Adipati Panjer.
- Jawa mampu bertahan dengan populasi abadi; bisa diartikan pula bahwa Jawa dapat bertahan sampai kapan pun atau Jawa (khususnya tempat tersebut) mempunyai daya tahan atau merupakan pertahanan yang sangat kuat. Ini terbukti baik pada masa Sultan Agung Hanyakrakusuma yang menjadikan tempat ini sebagai pusat kekuatan logistik, Sultan Amangkurat I yang menjadikan tempat ini sebagai pelarian dan berlindungnya dari kejaran Trunajaya yang berhasil merebut kraton Mataram, Pangeran Mangkubumi yang didukung 30000 pasukan Panjer hingga melahirkan perjanjian Giyanti, Pangeran Dipanegara yang menjadikan tempat ini sebagai pusat pertahanan dan logistiknya hingga adanya pengepungan dan pembumihangusan ibukota Panjer oleh Belanda dari tiga jurusan pasca tertangkapnya Dipanegara yang mengakibatkan Pemimpin Panjer bergelar Tumenggung Kalapaking IV seorang berdarah Jawa – Tionghoa gugur. Setelah pembumihangusan ini, dipindahlah ibukota kadipaten Panjer ke utara dan digantilah nama Panjer menjadi Kebumen (1832) serta dihapuskannya semua nama Panjer (di wilayah ibukota lama) di peta Belanda. Tidak hanya itu, pada awal kemerdekaan hingga masa perang kemerdekaan pun tempat ini dijadikan pertahanan terluar NKRI di sebelah barat yang dikenal dengan COP PDKS (Comando Operasional Pertahanan Daerah Kedu Selatan).
- lafal ke 4 selain berarti tempat, dapat pula berarti; tahan (sabar) berkaitan dengan sifat/mental.
- Pertama; batu itu sebagai penunjuk tempat bermukim sekelompok atau salah satu suku asli Jawa.
- Kedua; batu itu sebagai suatu prasasti (mungkin juga batu nisan) yang menunjukkan adanya “Orang Jawa yang memiliki sifat tahan/tabah/sabar”.
Bentuk huruf yang digunakan pada prasasti tersebut diperkirakan jaman Laksamana Cheng Ho. Besar kemungkinan masih ada prasasti lain yang terkubur di lokasi tersebut. Adapun kondisi prasasti yang tampak hangus dan masih terdapat bekas-bekas efek terbakar dimungkinkan akibat adanya suatu peristiwa pembumihangusan tempat tersebut dalam kurun waktu tertentu.
Dari berbagai simpulan terjemahan di atas, satu hal yang pasti adalah bahwa NV. OLIEFABRIEKEN INSULINDE/MEXOLIE/NABATIYASA/SARINABATI PANJER – KEBUMEN YANG DI DALAMNYA TERDAPAT SITUS SENDANG, MAKAM KUWU PANJER, PAMOKSAN GAJAH MADA/SABDA PALON, DAN PERTABATAN AMANGKURAT I ADALAH TEMPAT YANG SANGAT PENTING SEJAK DAHULU KALA, DAN TELAH DIKENAL OLEH MANCANEGARA SEBAGAI IBOKOTA KERAJAAN. KONDISI INI TELAH DIBUKTIKAN PADA NV. OLIEFABRIEKEN INSULINDE KEDIRI YANG KINI TELAH DISULAP OLEH PEMERINTAH KEDIRI MENJADI WISATA RELIGIUS PAMOKSAN JAYABAYA SEBAB DISINYALIR MERUPAKAN LOKASI KERAJAAN KEDIRI YANG DIDALAMNYA TERDAPAT PAMOKSAN JAYABAYA DAN SEBUAH SENDANG.
Oleh : Ravie Ananda
Tidak ada komentar: