Tank Belanda sedang melewati jembatan Renville menuju kota Kebumen yang telah kosong pada 19 Desember 1948
Jembatan Renville adalah jembatan kereta api yang terletak di daerah Panjer – Kebumen yang melintas di atas sungai Luk Ula. Jembatan ini disebut jembatan Renville oleh para pejuang kemerdekaan untuk mengabadikan peristiwa perundingan Renville.
Peristiwa pelanggaran Belanda pada tanggal 21 Juli 1947 yang secara terang – terangan terhadap persetujuan Linggarjati dengan melancarkan ekspansinya hingga ke Gombong mengakibatkan TNI mengadakan perlawanan dengan tetap mematuhi perintah Gencatan Senjata. Pihak Belanda yang pada awalnya mengambil batas wilayah di timur Kali Kemit (tepatnya di lokasi yang kini menjadi Monumen Kemit) akhirnya bersedia memundurkan garis setelah diadakannya perundingan dengan Pihak RI yang di tengahi oleh KTN dan diambillah kesepakatan bahwa Kali Kemit sebagai garis demarkasi/status Quo.
Pada tanggal 27 Agustus 1947, Komisi Tiga Negara (KTN) dibentuk oleh PBB. Kemudian diadakan perundingan antara RI dengan Belanda di atas Kapal Renville yang menghasilkan
Persetujuan Renville pada 17 Januari 1948. Sebagai tindak lanjut dari perjanjian tersebut maka oleh KTN (Komisi Tiga Negara) setelah melakukan perundingan yang dipimpin Panglima Divisi III Kolonel Bambang Soegeng dengan dihadiri antara lain: Letkol Koen Kamdani Komandan Resimen XX selaku Komandan COP PDKS Kebumen, Mayor Rahmat, Mayor Panoedjoe, Kapten Soebiyandono, Kapten H. Soegondo, Letnan Soeyono, Residen Banyumas, Bupati Banjarnegara, Bupati Kebumen, Kepala Polisi Gombong, dan Kepala Polisi Kebumen,
Kali Kemit ditetapkan sebagai Garis Demarkasi/Status Quo. Artinya, aliran Kali Kemit baik ke utara maupun selatan dijadikan batas terluar bagian barat dari Negara Indonesia. Pasukan-Pasukan TNI dan seluruh Pejabat Pemerintahan RI yang berada di kantong-kantong (dimaksud daerah yang diduduki Belanda) harus ditarik keluar. Dengan demikian Kemit merupakan pintu keluar bagi para pejabat dan pasukan TNI Siliwangi dari Jawa Barat yang akan hijrah ke Jawa Tengah. Pasukan Siliwangi dan para pejabat tersebut diangkut menggunakan kereta api oleh Belanda, lalu diturunkan di stasiun Gombong. Selanjutnya mereka berjalan kaki ke
Karanganyar dan diangkut menggunakan kereta api RI menuju Yogyakarta. Untuk memperlancar pelaksanan hijrah, Local Joint Commite (LJC) dibentuk dengan mendirikan pos di Panjatan (Karanganyar), dijabat oleh Kapten Musa yang ditugaskan MBT. Selain itu, dibukalah
Jembatan Renville di desa Panjer – Kebumen oleh Zeni atas order COP Kebumen dan komunikasi telepon oleh satuan PHB pimpinan Kopral R. Soehadi. Di Pihak RI, Garis Demarkasi dijaga oleh
tujuh anggota PK (Polisi Keamanan) yang berasal dari CPM yang menggunakan rumah Bapak Prawiro Soemarto sebagai Pos PK RI.
Situasi Dalam Negeri
Persetujuan Renville yang telah ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948 ternyata masih belum dapat menyelesaikan persengketaan antara pihak RI dengan Kerajaan Belanda.
Situasi Umum di Kebumen
Menjelang Pemberontakan PKI, situasi politik memprihatinkan. Di Kabupaten Kebumen tersebar berita bahwa di alun – alun Kebumen akan diadakan rapat akbar golongan kiri dengan pembicara Muso PKI. Saat itu, Kompi III Bimo Batalyon Mobil Sroehardoyo mengadakan pertahanan di desa Plarangan Karanganyar untuk menghadapi Belanda yang bermarkas di benteng Gombong. Pagi hari menjelang pelaksanaan rapat, rakyat berbondong-bondong menghadiri rapat tersebut. Mereka membawa senjata tajam seperti: arit, bendo, alu tumbuk padi, tombak, dan kudi dalam kora-kora yang disandang melingkari perutnya. Untunglah ada berita bahwa rapat akbar batal, sehingga keadaan aman dan tidak ada bentrok apapun, mengingat keadaan sedang gawat-gawatnya menghadapi Belanda.
Pengamanan Tokoh – tokoh PKI di Kebumen
Ketika terjadi peristiwa Madiun, Batalyon Teritorial Kedu IV Purworejo segera mengadakan rapat Tritunggal merumuskan langkah yang perlu diambil dalam mengamankan wilayahnya. Hal yang sama juga dilakukan oleh Tritunggal di Kabupaten Kebumen. Langkah – langkah yang segera diambil adalah:
- Menangkap dan mengamankan tokoh – tokoh PKI serta simpatisannya yang tinggal di desa – desa.
- Mengadakan pemisahan, yang berkaliber berat dikirim ke Yogyakarta/Magelang, yang sedang diamankan di kabupaten (Batalyon Teritorial Kedu IV untuk Purworejo, dan Batalyon Teritorial Kedu V untuk Kebumen).
- Dalam rangka pengamanan dilakukan pembinaan yang dipertanggungjawabkan pada kedua Batalyon Teritorial. Di Kebumen bertempat di bekas asrama TNI Batalyon 64 (Sarinabati), selatan jalan kereta (Kompleks Kepatihan/MAN II Kebumen dan Pabrik Gula/Gedung Gembira), dan di LP Kebumen.
Agresi Militer Belanda II
Persetujuan Renville yang telah disepakati ternyata dilanggar pula oleh Belanda. Pada tanggal 19 Desember 1948 pukul 06.00 Wib Belanda telah memulai serangannya di atas ibukota Yogyakarta sembari menunggu bala tentara Belanda dan angkatan perangnya yang sedang dalam perjalanan dari Gombong menuju Yogyakarta. Pada hari Minggu pagi – pagi benar pukul 05.30 Wib tanggal 19 Desember 1948 Komandan Kompi III Batalyon III Brigade X (Batalyon Sroehardoyo) yang berkedudukan di Nampudadi dan Kepala Staf Kompi III Serma Koedoes mendengar ledakan Granat dari arah Kemit. Suara yang sama terdengar pula oleh Kapten Soemrahadi pimpinan sementara Kompi III karena Komandan Kompi III Kapten Radjiman sedang ke Purworejo untuk menengok keluarganya yang sakit. Ledakan granat itu tidak diragukan lagi setelah adanya laporan dari Kopral Soeroyo anggota regu Combat pimpinan Serma Soekidi yang bertugas di dalam kota Gombong bahwa ledakan tersebut merupakan isyarat bahwa Belanda melaksanakan rencananya “door stoot naar Jogja“. Hal itu menjadi lebih meyakinkan dengan adanya siaran RRI Yogyakarta secara berulang – ulang. Batalyon Sroehardoyo dan pasukan – pasukan lain yang bertugas di pos – pos pertahanan garis demarkasi Kemit segera melakukan pergeseran pasukan untuk menempati posnya yang baru yang telah ditentukan sebelumnya. Batalyon Mobil Soehardoyo mendapat tugas dan tanggung jawab pertahanan wilayah kabupaten Purworejo dan Batalyon Mobil Soedarmo di wilayah Kabupaten Kebumen.
Batalyon Mobil II Mayor Soedarmo menempatkan Markas batalyon Kompi Markasnya (Rahwana) di Wadas Malang kecamatan Krakal, berikut dengan Kepala Staf Kapten Iskandar, Kompi I Werkudoro Kapten Soemantoro, Kompi I Gatotkoco Kapten Soegiono, Kompi III Antasena Letnan I Moeklis dan Kompi Bantuan Anoman Letnan I Tjiptono, pada dasarnya selalu berpindah – pindah. Namun sesekali secara bergantian pasukan beristirahat di rumah Glondong Rustam desa Karang Jambu, berdekatan dengan Komando Batalyon.
Batalyon Teritorial Kedu IV Purworejo dan Batalyon Teritorial Kedu V Kebumen telah menyusun dan menempatkan kompinya, hingga dengan cepat sambil berjalan KODM – KODM dapat dibentuk di tiap kecamatan dengan personil yang ada pada kecamatan tersebut.
Instansi pemerintahan sipil, dinas dan jawatan serta sekolah – sekolah, jauh sebelumnya telah mempersiapkan diri kemungkinan terjadinya Agresi II.
Gugurnya Tujuh Orang Polisi Keamanan (PK) RI
Tujuh orang anggota Polisi keamanan (PK) yang terdiri dari CPM penjaga garis demarkasi Kemit gugur pada tanggal 19 Desember 1948 pada pukul 05.00 saat Belanda memulai aksi militernya (Agresi Militer II) dengan terlebih dahulu menghabisi mereka yang menghuni rumah Bapak Prawiro Sumarto, timur pasar Kemit sebagai Pos PK pihak RI.
Gagalnya Trekbom Jembatan Renville Panjer
Satu – satunya akses jalan yang bisa dilalui angkatan perang Belanda menuju ke Yogyakarta adalah melalui Jembatan Renville Panjer sebab jembatan resmi Tembana berhasil dihancurkan oleh pejuang RI. Jembatan Renville sendiri adalah jembatan kereta api di sungai Luk Ula Kebumen yang secara darurat digunakan sebagai akses penghubung dengan cara menumpuk balok – balok kayu di atas rel agar bisa dilalui kendaraan.
Pada pukul 06.00 Wib Belanda masuk dari arah barat ke kota Kebumen bagian selatan dengan kereta api berbendera Merah Putih sehingga tidak disangka bahwa didalamnya adalah pasukan Belanda. Selanjutnya melalui jalan yang sama (Jembatan Kereta Api Renville) di belakang kereta api berbendera Merah Putih tersebut adalah konvoi Tank – tank Belanda. Kapten Gunung yang telah siaga menggunakan Panser Wagen segera menginstruksikan semua warga untuk mengungsi. Warga segera mencari selamat ke arah selatan, timur, dan utara kota Kebumen. Di bagian utara melalui jembatan Tembana konvoi jeep, panser wagen, dan tank sebanyak kurang lebih 50 buah menggunakan lambang – lambang KTN, yang merupakan Stoot Troop terjebak karena jembatan tersebut telah berhasil di trekbom. Banyak tank dan kendaraan lainnya berbalik dan mengambil akses jalan melalui jembatan Renville. Meski demikian, selanjutnya Belanda tetap memanfaatkan jembatan Tembana untuk akses menuju Yogyakarta dengan membangun jembatan darurat di atasnya.
Pada saat Belanda masuk kota, di dalam kota telah kosong. TNI dibagi dua yakni sektor Utara dan Sektor Selatan. Di selatan kota terdapat Mayor Rahmat, Kapten Toegiran, Letnan I Soediro, dan Letnan II Iskandar. Namun setelah mengetahui kekuatan Belanda yang besar, ketiga perwira tersebut tidak terlihat lagi. Sedangkan Letnan II Iskandar tertangkap di Jembatan Renville saat melaksanakan Trekbom. Ia lalu dibawa dengan kendaraan jeep ke berbagai sudut kota Kebumen sehingga banyak anggota TNI dan masyarakat yang melihatnya. Salah seorang yang melihatnya langsung adalah Letnan I Soeparman Clapar (kawan lama Letnan II D.S. Iskandar) yang semula bermaksud menumpang jeep nya yang melintas di jalan Stasiun (kini jalan Pemuda), sebelum mengetahui bahwa Letnan Iskandar duduk di samping serdadu Belanda. Setelah mengetahui keadaan, Letnan I Soeparman segera ke rumah untuk cepat – cepat memindahkan keluarganya ke Clapar. Letnan II Iskandar dibawa ke stasiun dan diangkut ke Purworejo. Setelah tiga hari di tangsi Kedung Kebo, diangkut ke Gombong dan terus ke Purwokerto pada tanggal 25 Desember 1948 di Brigade V. Setelah 17 hari ditawan di Bigade V, dengan kecerdikannya Letnan II Iskandar meloloskan diri melalui RSU Puwokerto dan melapor ke induk pasukannya (berada di gunung Sumbing).
Sasaran pertama pasukan Belanda pada waktu masuk ke kota Kebumen pada tanggal 19 Desember 1948 adalah Pabrik Mexolie/ Sari Nabati. Soewarno (pimpinan pemuda karyawan pabrik tersebut) dan dua anggota CA II Angkatan Laut serta dua karyawan pabrik yang sedang melakukan bumi hangus di pabrik tersebut tertangkap basah oleh Belanda yang begitu cepat menduduki Nabati. Soewarno dibawa ke stasiun, sedangkan empat lainnya setelah diperiksa di lapangan tenis Panjer (di utara stasiun) kemudian ditembak mati di sana.
Soewarno dibawa dengan Panser Wagon ke Purworejo. Sepanjang perjalanan ia mengalami beberapa peristiwa :
1. Di Kepedek Kutowinangun
Di desa Kepedek sebelah timur Kutowinangun terdapat puing bekas pabrik padi (kini dipakai untuk KUD). Lima anggota AOI bersenjata kareben polisi menghadang konvoi Belanda yang membawa Soewarno dengan tembakan. Belanda membalas serangan, tiga AOI gugur dan dua lainnya menghindar ke timur. Tapi sebelum sampai di tepi kampung, mereka tertembak oleh senjata metraliur 12.7 Belanda dan gugur.
2. Di Jembatan Butuh
100 meter sebelum Jembatan kali Butuh, terlihat seorang berlari dari kolong jembatan ke selatan melalui tanggul sungai. Belanda menembaknya dengan mitraliur 12.7 mm dan tepat mengenai sasaran. Korban adalah seorang Kopral dari Kompi Soedarsono Bismo yang ditugaskan menarik trekbom untuk memutuskan jembatan. Pemasangan trekbom dipimpin oleh Letnan II Soeparman Djliteng, Komandan Seksi I.
Soewarno diperintah NICA untuk memeriksa kolong jembatan tersebut, diikuti 10 serdadu Belanda. Di sana ada sebuah trekbom seberat 150 kg yang siap diledakkan dari jauh dengan seutas kawat. Namun karena tergesa-gesa kawat yang diikat ke detonator belum dibuka. Trekbom tersebut diangkut Belanda ke Purworejo.
3. Di Kota Purworejo
Sekitar pukul 17.30 Wib panser wagon yang menawan Soewarno masuk kota Purworejo dan langsung menuju jembatan kali Bogowonto di Cangkrep (Purworejo Timur).
4. Di Gedung Timur Alun – Alun Purworejo
Pada pukul 20.00 Wib Soewarno dengan jeep dibawa masuk ke sebuah gedung di timur alun – alun Purworejo (kini Markas CPM) untuk diperiksa Polisi Militer Belanda. Tengah malam ia mendengar bahwa esok pagi ia akan ditembak mati.
Pukul 01.30 Wib di belakang gedung tempat Soewarno ditahan, terdengar ledakan granat. Serdadu NICA menjadi panik. Dalam kesempatan demikian, Soewarno meloloskan diri melalui saluran got yang sampai di kali sebelah timur RSU Purworejo. Selanjutnya ia ke selatan sampai di Banyuurip dan ke barat sampai di Panjer dengan selamat pada pukul 18.00 Wib pada tanggal 20 Desember 1948.
Heru Subagyo, pejuang yang baru pulang dari Jawa Timur memutuskan untuk tidak mengungsi. Semasa kependudukan Jepang ia masuk pendidikan Heiho di Batavia dan kemudian ditempatkan di Jawa Timur. Pasca bubarnya Heiho ia menggabungkan diri dengan para pejuang lainnya di Jawa Timur. Beberapa hari menjelang Agresi Militer Belanda II, Heru pulang ke Kebumen karena mendapat berita bahwa ayahnya yang juga kawan pergerakan Soekarno (di tahun 1930 an) ditahan Belanda di Cilacap. Ia dan keluarga bertahan dengan makanan seadanya berupa pisang dan singkong yang ia simpan di dalam rumahnya yang berada di jalan Garuda (masuk ke selatan). Pada awalnya keberadaan Heru tidak diketahui Belanda sehingga ia dapat melihat keadaan kota Kebumen dari bilik – bilik WC/Kakus yang ada di tepian saluran air (kini trotoar jalan pemuda sebelah timur). Hotel Pusaka Panjer digunakan Belanda sebagai markas
KL (Koninklijk Landmacht), Perumahan Mess dan
Pabrik Mexolie/Sarinabati dijadikan Asrama KL sedangkan Gedung Bunder (kini depan Hotel Putra) digunakan untuk markas
KNIL (Koninklijk Nederlansch Indisch Leger). Pemuda – pemuda Kebumen yang tertangkap Belanda saat mengadakan patroli dibawa ke markas KNIL di Gedung Bunder, selanjutnya mereka dibawa ke KL. Setelah dari KL mereka disuruh lari menuju jembatan Tembana diikuti tentara Belanda bernama Mahani yang menggunakan sepeda dan membawa senjata. Setelah sampai di Tembana mereka pun dieksekusi.
Berbeda dengan tawanan kota Kebumen, tawanan yang tertangkap Belanda dari daerah lain saat patroli hingga ke pelosok seperti Sruni, Petanahan, dsb, baik itu TNI, Laskar pejuang ataupun warga yang dicurigai sebagai mata – mata, semua dibawa ke Pabrik Mexolie/Sarinabati dan kemudian di eksekusi di tempat tersebut. Adapula yang kemudian digiring ke Jembatan Renville dan kemudian dieksekusi di sana sehingga banyak didapati mayat yang mengambang di muara sungai Luk Ula. Mahani adalah eksekutor ternama di Kebumen, layaknya Berlin di Kemit.
Lambat laun Belanda pun mengatahui keberadaan rumah yang masih berpenghuni itu. Heru Subagyo digiring Belanda ke markas KNIL. Di sana dia tidak sendiri. Ada dua pemuda lain yang dicurigai sebagai mata – mata telah ditangkap. Setelah diinterogasi keduanya pun segera dibawa ke markas KL (di Hotel Pusaka) dan kemudian dieksekusi oleh Mahani di jembatan Tembana. Keajaiban Tuhan dialami Heru. Dia yang akan dikirim ke KL tiba – tiba dilarang oleh Komandan KNIL sebagai pimpinan di Gendung Bunder. Ternyata ketika melihat Heru sang Komandan teringat akan anaknya di Belanda yang usianya sebaya. Heru kemudian dimasukkan kembali ke Gedung Bunder dan disuruh memanggil seluruh keluarganya di rumah. Keempat adiknya yang masih kecil pun berjajar bersama Heru. Akhirnya Heru diantar pulang oleh Komandan KNIL dan diperlakukan sebagaimana anaknya sendiri. Bahkan sering kali Komandan KNIL tersebut mengantar makanan sendiri untuk Heru dan keluarganya.
Jaminan keamanan menjadikan Heru lebih leluasa mengamati peristiwa pertempuran di Kebumen. Salah satunya adalah penyerangan markas KNIL di Gedung Bunder oleh Pejuang dari berbagai Laskar antara lain Moh. Dimyati (Hisbullah; mantan pegawai SMPN 5 Kebumen) yang bersama anggotanya melakukan penyerangan jarak dekat dari Balai Desa Kebumen yang kemudian mereka bumi hanguskan. Luka tembak Dimyati karena penyerangan itu dibawanya hingga tua.
Penyerahan Kekuasan dari Pihak Belanda kepada Pihak RI di Kebumen
Keberhasilan SU 1 Maret 1949 dilanjutkan dengan langkah diplomasi pada tanggal 23 Agustus 1949 dengan diadakannya Konfrensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag untuk membicarakan masalah Penyerahan Kekuasaan Balanda kepada Indonesia. Dengan pertimbangan yang cukup bijaksana dan matang, akhirnya pemerintah RI menerima Naskah Persetujuan KMB yang sebetulnya sangat merugikan, dimana di dalamnya dinyatakan adanya negara RIS, APRIS, dan masalah Irian Barat yang penyelesaiannya secara menyeluruh baru akan dibicarakan di kemudian hari. Hari penyerahan kekuasaan dari Belanda kepada RIS ditetapkan pada tanggal 27 Desember 1949.
Di Gombong
Upacara penyerahan kekuasaan dilangsungkan di persimpangan jalan Cilacap-Yogyakarta-Sempor pada tanggal 17 Oktober 1949. Pihak Belanda diwakili antara lain oleh:
- Letkol Beets (Komandan Garnizoen Gombong)
- Letnan I Joepen (Ajudan Komandan)
- R. Soepardo (Wedana NICA)
- Achmad (Asisten Wedana NICA)
- Sapari (Juru Tulis Kawedanan NICA)
Pihak RI diwakili oleh:
- Kapten Soegiono (Komandan Kompi Batalyon Pendawa)
- Letnan II Purwosasmito
- Letnan Muda Soemarto
- Serma Achmad Baseri
- Sersan Oentoeng Soetomo
- Sersan Agoes
Di Kebumen
Upacara penyerahan kekuasaan dilangsungkan di persimpangan jalan Karanganyar-Yogyakarta-Karangsambung (Mertakanda) pada tanggal 17 Oktober 1949. Pihak RI diwakili oleh Letnan I Moeklis (Komandan Kompi Batalyon Pendawa) sedangkan pihak Belanda diwakili oleh Komandan KL setempat.
Sementara itu, Komandan Brigade IX/WK II Kedu Letnan Kolonel Achmad Yani mengadakan inspeksi di Kedu Selatan, bersama tiga orang perwira KTN masing-masing dari Amerika, Belgia, dan Australia untuk menyaksikan acara serah terima tersebut di Pituruh, Kutoarjo, dan Purworejo.
Upacara serah terima secara resmi untuk wilayah Jawa Tengah dilangsungkan di kota Semarang pada tanggal 27 Desember 1949. Pihak RI diwakili oleh Kolonel Gatot Soebroto Panglima Divisi III/Diponegoro merangkap Gubernur Militer Jawa Tengah. Sedangkan pihak Belanda diwakili oleh Jenderal Mollinger Panglima Divisi KL untuk Jawa Tengah.
Tugu dan Jalan Renville serta Perlunya Pelurusan Sejarah
Untuk memperingati peristiwa Agresi Militer Belanda II tersebut, di timur Jembatan Renville dibangun tugu Renville dan jalan dari barat jembatan kereta api hingga di samping Gereja Panjer dinamakan Jalan Renville. Tugu itu awalnya bertuliskan Huruf Jawa dan Huruf Latin dengan bunyi yang sama “DI SINI AKU MATI UNTUK IBU PERTIWI, HARAPANKU BERBAHAGIALAH NUSA BANGSAKU” Satu hal yang sangat disayangkan adalah adanya pengubahan dan kesalahan prasasti pasca renovasi tugu. Dimana tulisan di atas tersebut dihilangkan dan diganti dengan “BUMI HANGUS DAN PENGHANCURAN VITAL OLEH PEJUANG KEMERDEKAAN SEBAGAI JAWABAN PENGKHIANATAN PERJANJIAN RENVIL TH 1947 OLEH BELANDA” Ada beberapa kesalahan dalam tulisan tersebut yakni “RENVILLE” yang ditulis “RENVIL” dan tahun 1947, karena perjanjian Renville diadakan pada tahun 1948. Jalan Renville pun diubah menjadi jalan Es Bening dan kemudian berubah lagi menjadi jalan Gereja hingga kini. Sangat diperlukan tindakan segera dari pihak – pihak yang mempunyai wewenang untuk memperbaiki/meluruskan dan mengembalikan tulisan prasasti serta nama jalan agar generasi penerus tidak terlanjur menjadi salah dalam memahami sejarah bangsa.
Salam Pancasila.!
Oleh : Ravie Ananda
Kebumen, Minggu Kliwon 26 mei 2013
Sumber:
– Gelegar di Bagelen
– Perang Kemerdekaan Kebumen Tahun 1942 – 1950; Depdikbud Dirjen kebudayaan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta 1986
– Wawancara dengan saksi sejarah Heru Subagyo (Kepala Bagian Produksi Mexolie/Sarinabati masa kemerdekaan), Panjer 23 Mei 2013
Ravie Ananda
"Fakta dan data sejarah akan datang seiring pudarnya sejarah itu sendiri, karena pada hakikatnya sejarah adalah sesuatu yang pasti dan tidak bisa dipungkiri sebagai pohon semesta yang kokoh berakar. Alam memiliki mekanisme ajaib dalam memunculkan kebenaran seperti juga masa depan yang menunjukkan jalannya sendiri" - Ravie Ananda
Tidak ada komentar: