Tugu Martasentana di desa Sugihwaras, Adimulyo – Kebumen
Desa Sugihwaras termasuk dalam wilayah kecamatan Adimulyo. Pada masa perang kemerdekaan desa ini menjadi salah satu bagian pertahanan tentara RI. Untuk menghindari banyaknya korban
penyerangan Belanda terhadap pos pertahanan TNI di Sidobunder pada Selasa akhir Agustus 1947, tentara RI mundur ke desa Sugihwaras (sebagai batas pertahanan terluar) hingga ke Podohurip (markasnya kini menjadi SDN Podohurip). Salah satu pejuang yang bermarkas di Sugihwaras adalah
Supardjo Rustam (mantan Gubernur Jawa Tengah). Selanjutnya pada
peristiwa Canonade Candi 19 Oktober 1947 Belanda juga mengawali serangan pendahuluannya ke desa ini.
Beberapa hari setelah peristiwa Canonade Candi dan Sugihwaras, tepatnya pada tanggal 23 Oktober 1947 Belanda berhasil mendapat informasi mengenai banyaknya markas tentara RI serta catatan struktur penggerak perjuangan masyarakat dari Podohurip hingga ke Sugihwaras yang ternyata didominasi oleh para pemuda desa Sugihwaras. Beberapa penggerak perjuangan masyarakat tersebut antara lain : Martasentana, Wiryosukarto, Diyun (Hadiwisastro), Suro, dan Atmosukarto. Pada hari itu juga datang informan dari pihak RI ke Sugihwaras memberitahukan bahwa Belanda akan melakukan penyerangan ke daerah tersebut. Seluruh Tentara dan masyarakat pejuang yang berada di Sugihwaras pun segera bergeser ke timur, di Podohurip dan sekitarnya yang pada saat itu sedang banjir. Dua tokoh pengerak masyarakat yang pada saat itu masih berada di Sugihwaras adalah Diyun (Hadiwisastro) dan Martasentana.
Setelah melihat Belanda datang, Diyun segera bersembunyi dengan berendam di dalam empang belakang rumahnya. Hanya sedikit wajahnya yang ia munculkan untuk bernafas. Itupun ia tutupi dengan daun talas (Lumbu). Diyun berada di dalam empang beberapa hari hingga kondisi benar – benar telah aman.
Martasentana yang pada saat itu akan bergeser di Podohurip masih menyempatkan diri membawa kayu dengan berenang (memanfaatkan banjir) untuk menghambat jalan pasukan Belanda. Tidak disangka, ada seorang warga yang kemungkinan merupakan mata – mata musuh melihat aksi Martasentana tersebut dan segera melaporkan kepada Belanda. Pasukan Anjing Nica segera mendekati Martasentana yang tengah menjalankan aksi penghambatan tersebut. Martasentana yang tengah berada dalam genangan air kemudian dipanggil Belanda. Dengan gagahnya ia mendekat. Belanda yang sebelumnya telah mengantongi daftar nama penggerak perjuangan segera mengikat Martasentana.
Penyiksaan Sadis Terhadap Martasentana
Jawaban – jawaban tegas Martasentana ketika diinterogasi membuat ia disiksa dengan sadis. Dengan tangan terikat, mulutnya diberi rokok yang telah dibubuhi bubuk mesiu sehingga mulutnya pun rusak terbakar. Begitu juga kumis lebatnya hangus dibakar. Penyiksaan selanjutnya lebih kejam lagi, matanya dicongkel dengan bayonet sedangkan tubuhnya disayat – sayat. Belum puas dengan itu, Anjing Nica yang terkenal sadis itu (konon dipimpin oleh Kartalegawa) mengikat Martasentana dengan seutas tambang dan menyeretnya dengan menggunakan Jeep mirip penyiksaan yang dialami oleh Asral (pemuda asal Grenggeng). Setelah Jeep berhenti, mulut Martasentana yang telah hancur dimasuki pistol dan kemudian ditembakkan sehingga peluru pun menembus belakang leher mengakhiri hidupnya.
Beberapa warga, perempuan dan anak – anak yang melihat kejadian tersebut tidak berani mendekat. Baru setelah Belanda meninggalkan desa Sugihwaras jenazah Martasentana diambil oleh warga dan keluarganya untuk kemudian dimakamkan. Martasentana pada saat itu telah berkeluarga dan memiliki dua orang anak laki – laki. Isteri dan seorang anaknya telah meninggal dunia sedangkan anaknya yang lain hingga kini tidak diketahui keberadaannya.
Setelah berakhirnya masa Agresi Militer belanda II dan keadaan telah aman, warga desa Sugihwaras membangun tugu peringatan untuk menghormati jasa perjuangan dan keberanian Martasentana dalam melawan Belanda dan diberi nama Tugu Martasentana. Tugu tersebut dibangun tepat di tempat Martasentana meregang nyawa.
Hingga kini, setiap malam 17 Agustus, warga desa dipimpin oleh Kepala Desa Sugihwaras melaksanakan kegiatan rutin berupa talhil di makam Martasentana diteruskan menabur bunga di makam Tugu Martasentana. Meski nasib Martasentana tidak sebaik Asral yang makamnya dipindahkan di makam Pahlawan Kebumen, Pejuang kebanggaan desa Sugihwaras ini tetap melekat dihati warga.
Sebelum peristiwa tersebut, Martasentana dan pemuda desa Sugihwaras aktif dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Pada peristiwa perang Ambarawa di awal kemerdekaan, sekelompok pemuda Sugihwaras ini berangkat ke Ambarawa. Hanya berbekal semangat, tekad dan keyakinan untuk ikut berjuang melawan musuh serta bersenjatakan seadanya mereka berjalan kaki sampai di Ambarawa. Dikisahkan bahwa perjalanan mereka dari Kebumen ketika itu sampai pada sebuah lereng perbukitan. Terlihat di atas bukit tersebut telah menunggu sejumlah pasukan yang telah siap dalam posisi Stelling. Awalnya Martasentana dan kawan – kawan menyangka itu adalah tentara RI sehingga mereka makin semangat naik untuk bergabung dengan pasukan tersebut. Ternyata dugaan mereka salah, sekelompok pasukan tersebuk kemudian memberi aba – aba menembak. Martasentana dan kawan – kawan jadi tahu bahwa pasukan yang di atas tersebut adalah pasukan Belanda. Segera mereka menuruni bukit dengan menggelindingkan diri hingga kulit kaki dan tangan hampir terkelupas semua karena benturan medan perbukitan tersebut.
Semangat juang Martasentana yang tanpa pamrih dan kecintaannya terhadap Republik Indonesia sangat patut dibanggakan serta dijadikan teladan bagi generasi penerus bangsa dalam mempertahankan dan mengisi kemerdekaan NKRI.
Salam Pancasila!
Oleh : Ravie Ananda
Kebumen, Selasa Paing 27 Mei 2013
Sumber:
- Gelegar di Bagelen
– Wawancara dengan Sikun Madmiharjo (mantan pemuda pejuang Sugihwaras), Bambang bin Wiryosukarto (mantan kepala desa Sugihwaras), Susmiyati binti Atmosukarto
Ravie Ananda
"Fakta dan data sejarah akan datang seiring pudarnya sejarah itu sendiri, karena pada hakikatnya sejarah adalah sesuatu yang pasti dan tidak bisa dipungkiri sebagai pohon semesta yang kokoh berakar. Alam memiliki mekanisme ajaib dalam memunculkan kebenaran seperti juga masa depan yang menunjukkan jalannya sendiri" - Ravie Ananda
sangat bagus untuk belajar infonya
BalasHapuskomtrax