- Adanya temuan data mengenai sebuah bentuk pemerintahan di wilayah tersebut pada masa lalu meski belum menggunakan nama daerah terbaru.
- Adanya catatan pemerintahan masa lalu dengan nama terbaru (biasanya catatan kolonial) jika hari jadi ditentukan berdasarkan nama terbaru.
A. Mengacu pada poin 1
- Beberapa temuan purbakala di daerah Kebumen (kabalistik).
- Riwayat Bagelen
Dalam sejarah Purworejo disebutkan bahwa Nyi bagelen (Rara Wetan) sebagai cikal bakal kerajaan Bagelen (yang nantinya menurunkan wangsa Mataram Kuno) adalah seorang putri hasil perkawinan dari Sri Panuwun dengan Putri Pemimpin daerah Somalangu. Di daerah Somalangu juga terdapat Yoni terbesar di kedu selatan, (Radik Pernadi 1988:29-30).- Artinya peradaban di Kebumen telah ada sejak lama, jauh sebelum jaman Kediri.
- Kediri
Dalam Babad Kadhiri karya Mangunwijaya yang diterbitkan oleh Boekhandel Tan Khoen Swie KEDIRI 1932, disebutkan adanya wilayah di barat yang telah ramai dan memiliki pemerintahan tersendiri yakni Prambanan dan Panjer. Sementara itu jauh sebelum babad Kadhiri itu ditulis, satu-satunya wilayah Panjer yang ada dalam Map of Java Thomas Stamford Raffles yang diterbitkan British Administration 1812 adalah Panjer yang kemudian berubah menjadi Kebumen. - Majapahit
TIJDSCHRIFT VOOR INDISHCHE TAAL – LAND – EN VOLKENKUNDE DEEL XLIII BATAVIA 1901, menuliskan bahwa R. Putera sebagai salah seorang anak raja (adik dari Adiwijaya) meninggalkan kerajaan Majapahit menuju ke Negara Panjer di barat atas usul Gajahmada. Singkat cerita R. Putera sampai di daerah Kaleng negara Panjer, dia beristirahat di bawah pohon gendayakan. Ki Ageng dari Kaleng melihat ada sinar memancar dari tubuh orang di bawah pohon (R. Putera). Ki Ageng Kaleng tahu bahwa dia seorang kesatria besar kemudian mengajak mengajak R. Putera ke rumahnya kemudian mengajak R. Putera ke rumah Kyai Ayah karena ada pesta di sana dan kemudian kembali pulang ke Kaleng, R. Putera bersama Kyai Ayah menuju ke Kejawar diantar oleh Ki Buyut Kejawar menuju Pasir Luhur dan menetap di sana kurang lebih lima bulan lamanya. Dari Pasir Luhur R.Putera menuju Pajajaran dan menikah dengan cucu raja Pajajaran dan mempunyai 4 anak:
1. R. Kaduhu
2. Banyak Sabra
3. Banyak Kumara
4. Ngaisah
Pada usia 16 tahun R. Kadhuhu meminta izin untuk mengembara ia menuju wirasaba dan diangkat anak oleh Adipati Paguwan Wirasaba. Kaduhu disuruh menghadap ke Majapahit ditemani Ki Buwang. Kaduhu diangkat menjadi Adipati Margautama I Wirasaba dan dinikahkan dengan keluarga Majapahit setelah sang raja mengetahui bahwa ia adalah keponakannya sendiri. Kaduhu juga di hadiahi gajah.
Adipati Marga Utama memerintah 25 tahun dan mempunyai anak antara lain R. Warga (permaisuri) dan Kyai Tojareka (selir), Adipati Margahutama meninggal dimakamkan di Pakembangan. R. Warga memberitahukan ke Majapahit ia diangkat menjadi Kuwu Wirasaba dengan gelar Adipati Margahutama II, ia diantar pulang menuju Wirasaba oleh Gajahmada.
- Demak
TIJDSCHRIFT VOOR INDISHCHE TAAL – LAND – EN VOLKENKUNDE DEEL XLIII BATAVIA 1901.
Ketika Majapahit digantikan oleh Sultan dari Demak yang didukung oleh para wali, Adipati Margahutama dan Ki Boewara pergi ke Demak untuk menganut Islam. Ki Boewara belajar Islam di Masjid Demak sedangkan Adipati Margahutama pulang kembali ke Wirasaba. Negara Panjer berubah menjadi Kadipaten dibawah Demak setelah Kuwu Panjer menyetujui Islam masuk di Negara Panjer sebutan Kuwu (Yang Mulia) diubah menjadi Adipati Panjer. Paham Islam pun dipeluk oleh semua rakyat, tua muda, laki laki perempuan di kedua negara, yakni Panjer dan Wirasaba.
- Pajang
KEBERADAAN PANJER SECARA IMPLISIT JUGA DIKETAHUI DALAM BABAD KEJAYAAN MATARAM
Di dalam “Kidung Kejayaan Mataram Bait 04“ (terjemahan Bahasa Indonesia) disebutkan secara Implisit mengenai keberadaan Panjer.
“Demikianlah maka pada suatu hari yang penuh berkat berangkatlah rombongan Ki Gedhe ke Alas Mataram di situ ada di antaranya: Nyi Ageng Ngenis, Nyi Gedhe Pemanahan Ki Juru Mertani, Sutawijaya, Putri Kalinyamat, dan pengikut dari Sesela Ketika itu adalah hari Kamis Pon, tanggal Tiga Rabiulakir yaitu pada tahun Jemawal yang penuh mengandung makna Setibanya di Pengging rombongan berhenti selama dua minggu Sementara Ki Gedhe bertirakat di makam Ki Ageng Pengging Lalu meneruskan perjalanan hingga ke tepi sungai Opak Dimana rombongan dijamu oleh Ki Gedhe Karang Lo Setelah itu berjalan lagi demi memenuhi panggilan takdir hingga tiba di suatu tempat, di sana mendirikan Kota Gedhe”
Ki Gedhe Karang Lo yang dimaksud dalam bait di atas adalah pemimpin daerah Karang Lo (kini masuk dalam wilayah Kecamatan Karanggayam). Ini artinya sebelum berdirinya Kerajaan Mataram Islam pun, Karang Lo yang dahulunya merupakan bagian wilayah dari Kadipaten/Kabupaten Panjer telah dikenal dan diperhitungkan dalam ranah pemerintahan kerajaan pada waktu itu (Demak dan Pajang).
Daerah Karang Lo, Karanggayam didapati dalam Topograpische kaart der Residentie Bagelen 1857.
- Mataram Islam
- Panembahan Senopati
BIJRAGEN TOT DE TAAL-, LAND-EN VOLKENKUNDE VAN NEDERDSCH-INDIE, 1899.
Dikisahkan bahwa Danang Sutawijaya / Panembahan Senopati membangkang terhadap kekuasaan Pajang. Ia memaksa serombongan manteri pemajegan (penyetor pajak) dari Bagelen dan Banyumas yang akan menuju Pajang untuk menyetor ke Mataram. Ki Bocor seorang yang benci Panembahan Senopati hendak menjajal kesaktian Panembahan Senopati. Pada suatu malam ketika Panembahan Senopati sedang duduk – duduk di pendapa, tiba – tiba Ki Bocor datang dari belakang dan menusuk punggungnya dengan kerisnya yang bernama Kyai Kebo Dengen. Setelah ditusuk berkali – kali, Panembahan Senopati tidak cidera. Akhirnya Ki Bocor jatuh terduduk minta ampun setelah kehabisan tenaga, Panembahan Senopati memalingkan tubuhnya ke belakang dan memaafkan Ki Bocor. Ki Bocor segera pergi meninggalkan kerisnya yang masih tertancap di tanah. Sejak saat itu para mantri dan pegawai dari Bagelen dan Banyumas sangat mengagumi dan menghormati Senopati. - Sultan Agung
Penyerangan Batavia dibawah pimpinan Sultan Agung Hanyakrakusuma menjadikan Panjer sebagai pusat kekuatan logistik dan pasukan. Dalam babad Kolopaking yang ditulis oleh R. Tirtawenang Kalapaking tahun 1997, disebutkan pula adanya tokoh Badranala, Sunan geseng dan Singapatra sebagai tokoh Lokal yang memimpin penyerangan ke Batavia maupun penghalauan pasukan VOC yang mencoba mendarat di Petanahan (Karanggadung) dalam rangka penyerangan kota raja Panjer sebagai pusat logistik Sultan Agung. - Bumidirdja dan Amangkurat I
Babad Arungbinang Versi Gancaran, Ki Mangoensoeparto, Bale Pustaka, Batavia – C, 1937, menyebutkan bahwa ketidakcocokan antara Bumidirdja (paman dari Amangkurat I ) dengan Amangkurat I mengakibatkan Bumidirdja beserta keluarga diam-diam lari meninggalkan kraton Mataram menuju ke Panjer. Di Panjer Beliau diterima dengan baik oleh pemimpin saat itu Badranala dan Hastrasuta (Ki Gede Panjer II) dan kemudian berpindah tempat di beberapa daerah. Dikisahkan pada masa pelariannya itu beberapa kali utusan Mataram datang ke Panjer untuk mengajak pulang kembali Bumidirdja ke kraton akan tetapi beliau tidak mau hingga akhir hayatnya di dusun Karang Kutawinangun.
Babad kolopaking mengisahkan pula Pelarian Amangkurat I dari Trunajaya yang berhasil memberontak dan menguasai kraton Mataram juga menuju daerah Panjer. Hal ini dipicu sikap Amangkurat yang tidak kooperatif dengan para bawahannya yang memuncak pada pemberontakan Trunajaya dan pengejaran Trunajaya hingga ke daerah Panjer. Amangkurat kemudian diobati oleh Kertawangsa / Ki Gede Panjer III (pemimpin Panjer saat itu) yang kemudan dijadikan menantu dan dianugerahi gelar Kalapaking I. Adapun data sejarah menuliskan adanya pemberontakan Trunajaya mengakibatkan Amangkurat I lari ke barat. Beliau meninggal di Banyumas dan dimakamkan di Tegalarum. - Pangeran Mangkubumi / Hamengkubuwana I, Babad Giyanti, R. Ngabei Yasadipura I, Surakarta, Bale Pustaka, Betawi Sentrem 1937, menyebutkan Peristiwa Pemberontakan Pangeran Mangkubumi (RM. Sujana) dan RM. Said terhadap Mataram mengakibatkan perang Mangkubumi yang memiliki keterkaitan erat dengan Panjer. P. Mangkubumi dan pasukan terbesarnya bermarkas di Kota Raja Panjer Roma dibantu oleh Kalapaking II sedangkan Pakubuwana II bermarkas di Ungaran Kutowinangun dibantu oleh Arungbinang I. Kalapaking III juga membantu Pangeran Mangkubumi sehingga pemerintahan Panjer saat itu diwakilkan kepada Adipati Wangsanegara III Kalijirek. Pangeran Mangkubumi bergelar Sunan Kebanaran dan bertempat tinggal di wilayah Kebanaran Panjer. Di Panjer Pangeran Mangkubumi merasa besar hati karena mendapat dukungan sebanyak 30000 (tiga puluh ribu) pasukan Panjer Roma, 17000 (tujuh belas ribu) pasukan Roma (kini masuk wilayah Gombong) ditambah 3000 (tiga ribu) pasukan berkuda gabungan wilayah Bagelen yang semua berkumpul di Kota Raja Panjer Roma. Dengan kekuatan inilah Belanda kemudian memilih perundingan Giyanti dimana Mataram dibagi dua; Surakarta dan Yogyakarta. P. Mangkubumi menjadi Sultan Hamengkubuwana I.
- Dari fakta ini secara tidak langsung Kota Raja Panjer adalah embrio berdirinya Kraton Yogyakarta.
- Pangeran Dipanegara
De Orloog Op Java van 1825 Tot 1830, 185, menyebutkan bahwa Kota Raja Panjer adalah pusat pertahanan Pangeran Dipanegara. Diawali dengan datangnya panglima daerah Ledok hulu sungai Serayu Senopati Sura Mataram dan Adipati Sigaluh Ki Kertadrana ke ibukota Panjer sebagai utusan Pangeran Dipanegara pada 21 Juli 1826 yang kemudian diterima oleh Kalapaking IV (Penguasa Kadipaten Panjer), senapati Gamawijaya, Banaspati Brata Jayamenggala (Jamenggala) dan Ki Cakranegara (Kradenan). Perundingan menghasilkan kesepakatan bahwa Panjer mendukung P. Dipanegara dan tugas dari Panjer adalah menyediakan logistik pangan dan senjata.
Seluruh wilayah Kadipaten Panjer yakni Butuh, Rawa, Tlaga/Wawar Mirit, Ambal, Bocor, Grogol, Petanahan, Karangduwur, Karangbolong, Ayah, Rawakele, Somagede, Roma Kamal, Sedayu, Kemit, Grenggeng, Clapar, Cemara Sewu, Sadang,Kalibawang, Wadasmalang, Gunung Persada, Linggis, Cengkawak, Baniara, Karangsambung, Selaranda, Kaligending, Jemur, Pejagoan, Legok, Kedawung, Pekeyongan, Soka, Kebulusan, Sruweng, Karanggedang, Kejawang, Karangpule, Kalibagor, Kota Raja Panjer, Selang, Banyumudal, Wonosari, Jatimalang, Karangkembang, Karangsari, Wanasara, Kebebekan, Sruni, Merden, Ungaran Kutowinangun, Buluspesantren, dll. dijadikan pertahanan utama P. Dipanegara. Bahkan Beliau sempat dijuluki Sultan Kejawang ketika berada di Kejawang (Sruweng).
Pertempuran jarak dekat pasukan Belanda yang berasal dari Eropa, Ambon, Madura dan Tegal, melawan pasukan pimpinan Tumenggung Banyakwide sekitar 900 orang bersenjatakan tombak di daerah Kemukus, Kemit, Candi, Karangduwur, Karangbolong, dan “Petanahan Urut Sewu” membuat Belanda sangat kuwalahan. Pada saat itu P. Dipanegara berada di Kemit.
Pada tanggal 19 November 1828 P. Dipanegara hampir tertangkap Belanda. Beliau sakit dan bersembunyi di Logandu beberapa hari. Setelah sembuh, Beliau beserta Basah Mertanegara dan rombongan pergi ke Kota Raja Panjer. Di tengah perjalanan rombongan disergap Belanda. Beliau bersembunyi di dalam jurang hingga keadaan aman kemudian melanjutkan perjalanan ke Kota Raja (Pendopo Agung) Panjer dengan berjalan kaki. Di Panjer Beliau menyusun strategi pertempuran bersama dengan para pejuang Panjer. Beberapa hari setelah sembuh dari sakitnya Beliau melanjutkan perjalanan ke Deksa melalui hutan Laban dan desa Sebada. Peralatan perang dan logistik dikirim dari Panjer melalui Kaliwero, Tunggoro, Sadang, Tuk Pitu, Kutawaringin dan Sigaluh.
Pada tanggal 18 April 1829 Tumenggung Banyakwide (Kartanegara IV) tertangkap di Kemit.
Pada tanggal 14 Oktober 1829 Kanjeng Ratu Ageng dan Putri Sentot Prawiradirja tertangkap Belanda di Karangwuni Kretek Rawakele (Kebumen). Peristiwa ini mengakibatkan Sentot menyerah pada Belanda.
Dalam catatan pertempuran kolonel Buschkens, Gennet, dan Rinia van Nauta diketahui bahwa pertempuran antara pasukan Belanda yang berjumlah besar kewalahan menghadapi pasukan Panjer di Kedungtawon dan Ungaran Kutowinangun yang menyebabkan tewasnya beberapa perwira andalan Belanda dan jatuhnya logistik dan persenjataan di tangan Pasukan Panjer.
Dalam catatan lain mereka menyebutkan bahwa banyak pasukan Belanda yang putus asa karena kondisi alam yang terlalu liar dengan belantara hutan. Bahkan banyak pasukan Belanda yang mati di makan Harimau dan di terjang Badak. Sementara itu pasukan Dipanegara Panjer bersembunyi di dalam hutan-hutan tersebut.
Disebutkan pula bahwa Belanda kagum terhadap P. Dipanegara yang selalu bisa lolos secara ajaib, bahkan di saat kondisi sakit dan hanya tinggal beberapa anak buah (Februari 1830). Selanjutnya diadakan perundingan antara P. Dipanegara dengan Kol. Cleerens di Roma Kamal (kini Tunjungseta) pada tanggal 16 Februari 1830. Pada tanggal 17 Febuari 1830 P. Dipanegara yang langsung berpindah tempat di Kejawang Sruweng disusul oleh Kolonel Cleerens dan terjadilah perundingan ke dua di Kejawang dimana hasilnya P. Dipanegara mau berunding di Magelang.
Pada tanggal 28 Maret 1830 P. Dipanegara ditangkap di Magelang. Pasca penangkapan, Panjer di bawah Kalapaking IV tetap melakukan perlawanan bersama dengan senopati – senopati Panjer dari wilayah lainnya antara lain Sandrageni, Endang Kertawangsa, Ki Hajar Welaran, Jamenggala, Kyai Imanadi, Ki Kertadrana, Gamawijaya, Ki Demang Larasara, Ki Demang Jaya Lurik, Ngabehi Wirakerti, dll.
Pada tahun 1831 Ibukota dan Pendopo Agung Panjer diserang besar besaran dari tiga penjuru oleh Belanda bekerjasama dengan pasukan Surakarta dan Yogyakarta di bawah pimpinan Arungbinang IV, Ki Demang Jaya Lurik terbunuh di daerah Butuh, Ki Larasara tertangkap di daerah Mirit, Kalapaking IV terbunuh di Kota Raja Panjer. Prajurit Panjer pindah ke Baniara dan mendirikan pemerintahan darurat Panjer Gunung. Pertempuran laskar Panjer Pasca Penangkapan P. Dipanegara berlangsung selama dua tahun. Belanda mendatangkan bantuan dari Cirebon, Ambon dan kekuatan lainnya di luar pulau Jawa yang kemudian berkumpul di kongsi dagang VOC Gombong dipimpin oleh Jenderal Chochius. Mulai tahun 1844-1848 kantor tersebut diubah menjadi benteng dan dinamakan Fort General Chochius; kini dikenal dengan nama Benteng Van der Wijck.
Keberadaan Kadipaten Panjer ini berakhir pada tahun 1832 setelah berakhirnya perlawanan Prajurit Panjer sebagai kekuatan terakhir P. Dipanegara. Pendopo Agung Kota Raja Panjer tersebut kemudian dibumihanguskan. Kadipaten lama kemudian diubah menjadi NV. Oliefabrieken Insulinde (dalam perkembangannya menjadi Mexolie – Nabati Yasa – Sarinabati) pada tahun 1851 mengubah total industri minyak kelapa milik Kadipaten Panjer yang sebelumnya telah ada, sedangkan pemerintahan kadipaten Panjer selanjutnya diberikan kepada Tumenggung Arungbinang IV dengan membuat kadipaten baru di sebelah utara kabupaten lama dan mengubahnya dengan nama Kebumen (kini menjadi Kompleks DPRD kabupaten Kebumen). Belanda juga menghapus jejak Kota Raja Panjer di semua petanya pasca perang Jawa terakhir ini sejak tahun 1832 dan menggantinya dengan nama Kebumen.
- Panembahan Senopati
Dalam Almanak van Nederlandsch Indië tahun 1831 – 1832 (catatan administrtif pemerintahan Belanda) diketahui bahwa adanya pemerintahan Kebumen dimulai pada tahun 1832.
- Tinjauan sisi geologi
Kebumen merupakan daerah Subduksi yang awalnya merupakan dasar samudra yang kemudian muncul sebagai akibat terjadinya tumbukan dua lempeng bumi pada 117 juta tahun – 60 juta tahun yang lalu, yakni lempeng benua Eurasia dan lempeng samudra Hindia dan menjadi daerah yang tertua di Asia.
Penelitian tentang Kebumen pertama kali dilakukan oleh Verbeek, seorang geolog Belanda pada tahun 1891. Ia melakukan penelitian di wilayah Karangsambung. Hasil penelitian ini baru dipetakan secara geologi oleh Harlof pada tahun 1933. Penelitian dilanjutkan oleh Sukendar Asikin, geolog Indonesia pertama yang mengulas geologi daerah Karangsambung berdasarkan teori Tektonik Lempeng. (LIPI Karangsambung)
Dari uraian data di atas dapat disimpulkan bahwa keberadaan pemerintahan di wilayah yang kini bernama Kebumen telah ada sejak lama. Selanjutnya data-data tersebut dapat digunakan oleh segenap elemen masyarakat Kebumen dalam merevisi hari jadi kabupaten Kebumen.
Kebumen, Minggu Legi 1 Februari 2015
1. Ravie Ananda, S.Pd. (Komunitas Wahyu Pancasila / www.kebumen2013.com)
2. Prof. Damarjati Supadjar (Guru Besar Filsafat UGM)
3. Prof. Sugeng Priyadi (Guru Besar Sejarah Universitas Muhammadiyah Purwokerto)
Tidak ada komentar: